Wednesday, May 4, 2011

Syukur: Titik Awal Karakter Positif -

Empat Relasi Dasar

Sikap-perilaku, lebih luas lagi: karakter, berkait erat dengan cara berelasi. Relasi dengan siapa? Ada empat relasi dasar dalam hidup manusia: relasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan alam-dunia, dan dengan Tuhan. Cara berelasi yang positif tentu akan membuahkan sikap-perilaku positif. Demikian juga, sikap-perilaku positif itu membangun karakter positif. Jadi, kunci terciptanya karakter positif adalah “cara berelasi” dalam empat segi tersebut.

Karakter positif berawal dari diri sendiri, dekat sekali. Justru karena begitu dekatnya, orang sering abai. Mungkin kita bertanya-tanya: “Bukankah kita sudah selalu berelasi dengan diri sendiri?” Memang benar, tapi cara berelasinya tidak selalu positif. Bagaimana cara berelasi yang positif?

Cara berelasi yang positif dengan diri sendiri adalah memandang dan memperlakukan diri dengan baik.Apakah orang tidak selalu berbuat begitu? Tidak! Bagaimana caranya agar orang dapat membangun relasi yang baik dengan diri sendiri? Ada tiga langkah. Pertama, mengenal diri sendiri dengan baik secara utuh: jasmani-rohani. Kedua, menerima diri sendiri dengan baik. Ketiga, mengembangkan diri dengan baik.

Langkah yang paling kritis adalah langkah kedua. Orang barangkali bisa mengenal diri sendiri dengan baik. Namun, boleh jadi orang tidak dapat menerima keadaan diri itu. Nah, di situlah orang mulai gagal menerima diri. Jika tidak diatasi, tentu langkah ketiga tak mungkin tergapai. Orang yang tidak bisa menerima diri sendiri, sulit mengembangkan diri. Orang yang dapat menerima diri sendiri, berkembang pesat. Di situlah karakter positif bermula.

Berawal dari Syukur

Cara berelasi dengan sesama, dengan alam-dunia, dan dengan Tuhan umumnya diwarnai, bahkan ditentukan, oleh cara berelasi dengan diri sendiri. Cara berelasi dengan sesama, alam-dunia, dan Tuhan menjadi secama pancaran dari cara berelasi dengan diri sendiri. Orang yang menolak diri sendiri biasanya juga menolak semua yang di luar dirinya. Orang yang berhasil menerima dan mengembangkan diri sendiri umumnya akan menerima pula sesama, alam-dunia, dan Tuhannya.

Bahasa religius untuk penerimaan diri adalah bersyukur. Kata ini sering diucapkan. Namun, boleh jadi orang tidak lagi paham apa sebenarnya makna bersyukur. ~ Apa makna bersyukur? Kita bersyukur apabila kita hanya memandang diri dengan apa yang ada dan kita miliki. Bersyukur tidak akan bisa terjadi bila kita memandang apa yang tidak ada pada kita dan tidak kita miliki.

Tokoh yang dapat menerima diri dengan apa yang ada tentu adalah Yesus sendiri. Yesus menerima keadaan Dirinya, manusia, dan dunia apa adanya. Ia menerima keterbatasan-Nya sebagai manusia yang bisa lapar, haus, dan sakit. Ia rapuh tapi itu diterima-Nya, bahkan penderitaan-Nya pun diterima dengan rela. Penerimaan itu tidak lain ada syukur-Nya. Sampai di Kalvari, Yesus tetap menerima keadaan Dirinya. Sepanjang hidup dan karya-Nya, Ia senantiasa mengajak orang bersyukur. Dari situlah sesungguhnya karakter positif berawal, yakni dari penerimaan akan apa yang ada pada diri.

Penerimaan diri bukan untuk berhenti di tempat, tapi untuk mengembangkan diri. Dan pengembangan diri itu berbuah pada positifnya relasi dengan sesama, alam-dunia, dan Tuhan. Menegaskan keterangan di atas, orang yang bisa menerima dan mengembangkan diri tentu dapat mengembangkan karakter positif dalam empat segi sekaligus: diri, sesama, alam-dunia, Tuhan.

No comments: