Wednesday, May 18, 2011

Tahta/Kekuasaan…

Hakikat Tahta
Hakikat tahta dan kedudukan adalah penguasaan terhadap hati orang lain sehingga tunduk kepadanya karena tahtanya, dan memujinya dengan ucapan serta berusaha memenuhi segala keinginannya sesuai perintahnya. Seperti harta, maknanya adalah kepemilikan dirham demi mencapai tujuan-tujuannya.
Demikianlah, tahta merupakan penguasa hati. Hanya saja, tahta lebih dicintai dibanding harta, karena bisa mendatangkan harta kekayaan. Hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Dengan tahta, orang akan lebih mudah untuk meraup harta kekayaan, tetapi belum tentu dengan kekayaan seseorang dapat meraih jabatan secara mudah.

Tahta lebih aman dan terpelihara dari pencurian, perampasan dan bencana lainnya, berbeda dengan harta kekayaan yang senantiasa menjadi incaran para pencuri clan perampok.
Tahta lebih mudah untuk berkembang dan cepat menanjak, tanpa melalui proses berbelit-belit. Berbeda dengan harta yang perkembangannya memerlukan pencurahan pikiran, tenaga clan waktu.
Tahta berarti ketinggian atau kemuliaan. Sifat ini secara teologis merupakan sifat Allah swt. Dan setiap manusia, secara naluriah pasti mencintai sifat-sifat Allah swt. Bahkan sifat tersebut telah menjadi instrumen untuk meraih segalanya. Karena pada sifat tersebut ada rahasia samar, keterkaitan antara ruh dengan persoalan-persoalan ketuhanan. Dalam hal ini Allah berfirman, “Katakanlah, bahwa ruh itu urusan Tuhanku.” (Q.s. Al-Isra’: 85).

Tahta adalah perkara ketuhanan, yang memberi pesona pada watak, sebagai wahana kediktatoran dan satu-satunya eksistensi wujud. Itulah hakikat ketuhanan, karena tiada wujud lagi di sisi Allah. Bahkan semua yang maujud ini, hanyalah sebagai bayangan dari cahaya kekuasaan (qudrat). Dan bayangan itu hanya bersifat mengikuti, bukan pada dataran menyertai. Karena itu, tiada wujud lain yang menyertai Allah swt.

Manusia memiliki ambisi seperti itu. Bahkan pada jiwanya muncul egoisme seperti ucapan, “Akulah tuhan kamu sekalian yang luhur!” Namun Fir’aun kemudian memperjelas, dan manusia lain menyamarkan.

Tetapi manakala terputus dari sikap “satu-satunya dalam wujud” (yang paling), la tetap berambisi meraih keluhuran dan tahta di atas segalanya di dunia, agar ia bisa meraih apa yang dikehendakinya. Dan sikap demikian berarti memasuki wahana ketuhanan.

Sayang, manusia tidak mampu menundukkan semua itu, terhadap wujud di langit, bintang-bintang, lautan clan bukit-bukit. Lantas manusia tetap berambisi menguasai semua itu melalui ilmu pengetahuan. Sebab ilmu merupakan ragam dari kekuasaan. Seperti seseorangyang tidak mampu meletakkan sesuatu yang ajaib, akhirnya tetap berambisi bagaimana cara meletakkannya. Lalu la berambisi mengenal keajaiban-keajaiban laut clan keajaiban di perut bukit. Dan itu terproyeksi ketika manusia menundukkan bumi, hewan dan tambang serta tumbuh-tumbuhan.
Manusia menjadi sangat ingin memiliki dan memindahkan, dengan suatu proyeksi bahwa manusia telah menundukkan itu semua, dan pada saat yang sama penguasaan itu terbayang lewat hatinya. Hatinya pun dikaitkan dengan nuansa keagungan yang dikokohkan melalui perilakunya yang penuh kebesaran clan keagungan, diikuti oleh keyakinan akan keparipurnaan kekuasaannya, menebarkan pengaruhnya, sampai menjangkau negeri-negeri yang belum pernah diinjaknya clan penduduknya belum dikenal.
Semua itu merupakan ambisinya untuk berkait dengan sifat-sifat ketuhanan. Kadang-kadang sifat demikian lebih dominan, sementara nafsu-nafsu hewaninya justru melemah.


Etika Bertahta
Anda mungkin bertanya, mengapa meraih keluhuran seperti itu tercela? Padahal ambisi tersebut lahir dari kristalisasi akal clan ruh yang secara khusus berkaitan dengan urusan ketuhanan?

Perlu Anda ketahui, menggapai keluhuran yang hakiki merupakan tindakan terpuji, tidak tercela, apabila motivasi secara keseluruhan adalah taqarrub kepada Allah swt. Sebab, itulah supremasi dan kesempurnaan sejati, yang tidak mengandung kehinaan, kekayaan yang tidak mengandung kefakiran, kekekalan yang tidak mengandung kehancuran, serta kenikmatan yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Sementara ambisi yang dicaci adalah upaya mencapai kesempurnaan semu, bukan kesempurnaan hakiki.

Setiap keparipurnaan hakiki selalu dikembalikan pada asas keilmuan, kemerdekaan dan kekuasaan. Yaitu, nuansa yang bebas tidak terikat oleh makhluk lain. Sedangkan hamba, tidak memiliki kompetensi kekuasaan secara hakiki. Kekuasaannya terletak pada harta clan tahta. Dan kekuasaan demikian bersifat semu. Karena keduanya merupakan sesuatu yang tidak langgeng.
Bagi yang tidak abadi, pasti tidak mengandung kebajikan. Bahkan dikatakan penyair:
Kegelisahan yang dahsyat bagiku, jika kesukacitaan yang diyakini akan hilang
Kekuasaan seperti itu bagaimanapun akan habis karena kematian, serta tidak bisa dijamin kesuciannya. Siapa pun yang menyangka sebagai kekuasaan sempurna pasti akan tersungkur. Namun keparipurnaan itu ada pada tingkah laku kesalehan yang menuju taqarrub kepada Allah swt, yang tidak bisa musnah karena kematian, bahkan semakin berlipat ganda tanpa batas. Itulah ma’rifat yang hakiki terhadap Dzat Allah swt, Sifat clan Af’al-Nya, yaitu mengetahui totalitas wujud, bahwa tiada yang wujud melainkan Allah dengan segenap Af’al-Nya.; Tetapi, kadang-kadang ada orangyang memandangnya bukan dari sisi Af’al Allah swt. Seperti orang yang sedang melakukan operasi, bedah untuk kepentingan medis, atau memandang cuaca alam untuk kepentingan hukum astronomi, tentu la tidak bisa dikatakan punya kekuasaan.

Di antara proyeksi keparipurnaan hakiki adalah kebebasan. Yaitu, bebas dari segala bentuk ketergantungan seluruh instrumen duniawi. Sebab semua itu akan bertemu dengan ajal kematian. Kemudian lebih konsentrasi pada disiplin yang dituju, yaitu Allah swt. Sebagaimana firman-Nya kepada Daud as, “Wahai Daud, Aku-lah tujuanmu yang sebenarnya, dan tetaplah pada tujuanmu.”
Ilmu dan kebebasan merupakan perilaku kesalehan yang paripurna dan hakiki. Sementara harta dan anak anak hanyalah perhiasan dunia, yang kesempurnaannya hanyalah semu.
Orang-orang yang hatinya terbalik, adalah mereka yang membalik kebenaran hakiki, dan berpaling dari upaya mencapainya. Mereka hanya sibuk mencari kesempurnaan semu belaka. Mereka kelak akan dibakar oleh api penyesalan sesudah mati, karena mereka menyaksikan kerugian dunia dan akhirat. Mereka mencari sebab-sebabnya, namun tidak pernah sukses mencapai ma’rifat dan kebebasan. Sedang dunia, hanyalah titipan dan berbalik memusuhinya, sementara mereka mewarisi musuh-musuh itu.

Anda jangan menyangka kalau iman dan ilmu itu berpisah dari Anda karena kematian. Kematian tidak bisa merobohkan tempat ilmu, apalagi kematian bukanlah ketiadaan hingga Anda menduga ketika Anda tiada, sifat-sifat Anda juga hilang. Makna kematian hanyalah pisahnya badan dan ruh. Apabila ruh menyendiri dari badan, la akan tetap ada dengan ilmu dan kebodohannya. Pemahamannya perlu uraian yang luas, karena adanya rahasia yang tidak bisa termuat dalam buku ini.
Tetapi, kalau Anda mengenal esensi materi tahta, sebagai kesempurnaan semu, maka Anda telah mengenal pula terapinya yang ada dalam relung cintanya di hati.

ManakalaAnda tahu, seandainya penghuni bumi ini sujud kepada Anda, pasti tidak akan lama - kecuali sejenak waktu - serta tidak ada lagi orang yang bersujud dan disembah.
Waktu dunia akan menekan Anda, dari kekuasaan apalagi dari kampung halaman atau negara Anda. Lalu, bagaimana Anda bisa rela, meninggalkan kerajaan abadi dan tahta yang panjang di sisi Allah dan malaikat-Nya, dengan menempatkan tahta Anda yang hina, penuh sesak orang-orang sombong, sama sekali mereka tidak memberi manfaat dan membahayakan Anda, mereka tidak bisa memberi kekuasaan, kematian, kehidupan, keleluasaan, rezeki clan kepastian? Memang, penguasa atau raja hati, seperti raja manusia pada umumnya. Anda butuh kekuasaan sedikit untuk menjaga diri Anda dari kezaliman clan permusuhan, menjaga Anda dari hat-hal yang mengganggu Anda, keselamatan clan kebahagiaan Anda yang kelak; berpengaruh pada kehidupan agama Anda.

Upaya seperti itu diperbolehkan, dengan syarat Anda punya sikap qanaah menurut kadar kebutuhan, sebagaimana dalam soal harta. Syarat lain, Anda tidak menggunakan untuk kepentingan riya’, dan tentunya tindakan demikian haram hukumnya. Anda tidak boleh mengaplikasikan kekuasaan untuk kepentingan, persekongkolan; misalnya Anda menampakkan din Anda, namun sebenarnya tidak demikian adanya. Tentunya, tidak ada bedanya antara orang yang; memiliki kekuasaan hati dan orang yang menguasai harta.

No comments: