Wednesday, June 15, 2011

Boss Kapitalis VS Buruh Proletar


Bila Boss Kapitalis teguh pada pendirian dan pendapatnya, maka dia konsisten

Tapi bila Buruh Proletar teguh pada pendirian dan pendapatnya, itu artinya dia keras kepala.

Bila Boss Kapitalis cepat mengambil keputusan, itu artinya dia berani mengambil keputusan

Tapi bila Buruh Proletar cepat mengambil keputusan, itu artinya dia gegabah.

Bila Boss Kapitalis bekerja cepat, itu artinya dia cermat dan cekatan

Tapi, bila Buruh Proletar bekerja cepat, itu artinya dia terburu-buru.

Bila Boss Kapitalis bekerja lambat, itu artinya dia teliti

Tapi, bila Buruh Proletar bekerja lambat, itu artinya dia membuang waktu.

Bila Boss Kapitalis berubah-rubah pendapat, itu artinya dia fleksibel

Tapi, bila Buruh Proletar berubah-rubah pendapat, itu artinya dia plinplan.

Bila Boss Kapitalis lambat memutuskan, itu artinya dia berhati-hati

Tapi, bila Buruh Proletar lambat memutuskan, itu berarti dia telmi.

Bila Boss Kapitalis curiga pada seseorang, itu artinya dia waspada

Tapi, bila Buruh Proletar curiga pada seseorang, itu artinya dia negatif thinking.

Bila Boss Kapitalis menyatakan sulit, itu artinya dia prediktif antisipatif

Tapi bila Buruh Proletar menyatakan sulit, itu artinya dia pesimistif.

Bila Boss Kapitalis menyatakan mudah, maka dia optimis

Tapi bila Buruh Proletar menyatakan mudah, itu artinya dia menyepelekan masalah.

Bila Boss Kapitalis minta fasilitas mewah, itu artinya dia menjaga citra perusahaan

Tapi, bila Buruh Proletar minta fasilitas mewah, itu artinya dia banyak menuntut.

Bila Boss Kapitalis jarang masuk kantor, itu artinya dia kelelahan karena kerja keras

Tapi, jika Buruh Proletar jarang masuk kantor, itu artinya dia pemalas.

Bila Boss Kapitalis dekat dengan atasan, itu artinya dia sedang me-lobby

Tapi, bila Buruh Proletar dekat dengan atasan, itu artinya dia menjilat.

Bila Boss Kapitalis memotong jalur birokrasi, itu artinya dia proaktif-inovatif

Tapi, bila Buruh Proletar memotong jalur birokrasi itu artinya dia melanggar aturan.

Bila Boss Kapitalis rajin bekerja, itu artinya dia peduli pada perusahaan

Tapi, bila Buruh Proletar rajin bekerja, itu artinya dia cari muka.

Dan…

Sebenarnya kalau dilihat, antara BOS dan Buruh diatas adalah statusnya sama yaitu bekerja pada orang lain/perusahaan demi untuk mendapatkan penghidupan bagi keluarganya. Kadang ada BOS yg bertindak seolah-olah dia yg memberi penghasilan pada buruh tersebut dan kadang keputusannya sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Tapi yang lebih parah lagi adalah apabila seorang berstatus Buruh tapi perilakunya bertindak kayak BOS.

Kalau misal di artikan dua kata di atas adalah sbb :

a. BOS : Orang yg mempunyai kewajiban memberikan penghidupan/gaji kepada orang

Lain dikarenakan orang tersebut bekerja/memberikan jasa pada dia/perusahannya.

b. Buruh : Orang yang bekerja/memberikan jasa pada orang lain dengan harapan untuk

Mendapatkan timbal balik berupa materi/jasa untuk kebutuhan hidupnya

Jadi Kesimpulannya bahwa antara BOS dan Buruh pada cuplikan di atas statusnya adalah sama : seorang BURUH

Tags: coretan sembarangan

Next: Bersabarlah...

Friday, June 3, 2011

Menahan Ambisi dengan Puasa

Ambisi sebenarnya adalah sesuatu yang wajar. Katakanlah sebuah cita-cita atau harapan-harapan optimisme pada masa depan. Menjadi tidak wajar jika ambisi itu melampaui batas-­batas kewajaran kita. Artinya, baik “sesuatu” yang akan kita capai maupun cara-cara pencapaiannya masih berada dalam jangkauan kemanusiaan kita. Namun apahila keduanya melebihi kapasitas-kapasitas kita, maka ambisi itu menjadi sesuatu yang “utopis”. Uniknya sesuatu “utopis” itu kemudian menjadi sama kenyataan, berkat “pengerahan segala daya upaya”, termasuk dengan menghalalkan cara atau menginjak kepala orang lain.

Kasus-kasus pelanggaran moral dan ketidakseimbangan lingkungan (hidup atau sosial) yang terjadi selama 1997 adalah “prestasi-prestasiyang dicapai oleh sikap-sikap ambisius: ada pemilu yang menumbuhkan dan menyulut sikap anarki; dari kuningisasi, kamipanye yang melahirkan mayat-mayat, proses pemilihan yang “tidak bersih” (baca curang); ada kebakaran hutan lengkap dengan asap-jelaga, yang sangat menyesakkan pernafasan sekaligus memalukan bangsa; adanya upaya penyeragarnan sepatu bagi siswa sekolah; kasus penggunaan dana Jamsostek untuk pembahasan RUUK atau kasus korupsi dan kolusi lainnya; terbongkarnya kasus aborsi (baca pembunuhan janin) massal; pelanggaran-pelangaran seksual (termasuk pesta seks); bahkan ramainya perbincangan tentang suksesi sepanjang 1997 dan gejolak mometer pada paruh kedua 1997; dan tak kalah hebatnya adalah tumbuh suhurnya isu­-isu.

Puasa Menahan Ambisi

Puasa dalam kosa kata keseharian kita mengandung makna menahan diri. Makna seperti itu juga terdapat pada kata asalnya, syiam yang berarti menahan diri dari sesutu. Dalam parktik puasa, scsungguhnya kita sudah sangat paham terhadap apa-apa yang harus kita tahan. Menahan diri untuk tidak makan, minum dan huhungan suami istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Juga menahan marah. Menahan untuk tidak berbohong. Menahan diri dari ucapan kotor dan tercela. Menahan diri dari perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan.

Jika kita sarikan, semua hal-hal yang perlu kita tahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan keinginan-keinginan hawa nafsu.

Puasa dengan segala kesempurnaan pemahaman, baik secara lahiriyah maupun maknawiyah, melatih kita untuk mampu menahan seluruh potensi ketidak-terkendaliannya hawa nafsu. Mungkin, hal-haI yang perlu kita tahan, jika kita pandang secara lahiriyah, terkesan remah. Tetapi sesungguhnya kesemuanya itu merupakan latihan-latihan yang sangat berarti dalam menahan nafsu-nafsu besar yang mengerubungi ambisi-ambisi kita.

Tahan makan dan minurn. Berarti tahan diri Anda dari amhisi “memakan” dan “meminum” sesuatu di luar jangkauan kepemilikan kita. Jangan bakar hutan jika sekedar untuk menumpuk harta yang tidak akan habis diwarisi oleh tujuh keturunan. Jangan korupsi jika belum mampu beli Mercy atau BMW. Puasalah dari korupsi. Puasalah dari ekploitasi semena­-mena. Tahan berkata bohong, artinya jangan main curang, jangan manipulasi data, jangan main rekayasa. Tahan ambisi untuk menjadi pemenang mutlak sebuah pertarungan dengan kecurangan-kecurangan. Puasalah dari vested interst.

Tahan nafsu seksual, artinya jangan lakukan hubungan suami istri sebelum dilakukan akad pernikahan. Jangan main seks bebas. Jangan demi ambisi seksual, lalu Anda halalkan segala cara pemuasannya. “Tahan marah, artinya meskipun anakrnu itu terlahir di luar pernikahan, jangan dibunuh. Engkau membunuh berarti engkau tidak mampu mengendalikan ambisi angkara murkamu yang ke seklian kalinya”. Puasalah agar tidak melakukan aborsi.

Tahan dari perhuatan tercela, artinya jangan Anda gadaikan idealisme Anda demi ambisi segebok suap-kolusi. Tahan ambisi Anda untuk rnempengaruhi kebijakan dengan cara “damai-suap” atau “damai-kolusi”. Puasalah agar tidak melakukan suap dan kolusi.

Tahan ambisi-ambisi kekuasaan yang memperkokoh status quo. Tahan ambisi-ambisi kekuasaan yang mencarut-marutkan masyarakat dengan isu dan intrik-intrlk. “Puasalah dari kekuasaan. Puasalah … puasalah … tahan … tahan ….”

Jadi, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menilai sejauhmana tingkat keberhasilan kita atau masyarakat kita dalam melaksanakan puasa, yang secara lahiriyah sangat hiruk pikuk. Lihat sejauhmana kita dan masyarakat kita mampu menahan diri. Bukan saja menahan diri dari sesuatu larangan yang kecil, juga ambisi-ambisi besar kita.

Betapa nikmat dan barakahnya puasa yang kita lakukan!

Menahan Ambisi dengan Puasa

Ambisi sebenarnya adalah sesuatu yang wajar. Katakanlah sebuah cita-cita atau harapan-harapan optimisme pada masa depan. Menjadi tidak wajar jika ambisi itu melampaui batas-­batas kewajaran kita. Artinya, baik “sesuatu” yang akan kita capai maupun cara-cara pencapaiannya masih berada dalam jangkauan kemanusiaan kita. Namun apahila keduanya melebihi kapasitas-kapasitas kita, maka ambisi itu menjadi sesuatu yang “utopis”. Uniknya sesuatu “utopis” itu kemudian menjadi sama kenyataan, berkat “pengerahan segala daya upaya”, termasuk dengan menghalalkan cara atau menginjak kepala orang lain.

Kasus-kasus pelanggaran moral dan ketidakseimbangan lingkungan (hidup atau sosial) yang terjadi selama 1997 adalah “prestasi-prestasiyang dicapai oleh sikap-sikap ambisius: ada pemilu yang menumbuhkan dan menyulut sikap anarki; dari kuningisasi, kamipanye yang melahirkan mayat-mayat, proses pemilihan yang “tidak bersih” (baca curang); ada kebakaran hutan lengkap dengan asap-jelaga, yang sangat menyesakkan pernafasan sekaligus memalukan bangsa; adanya upaya penyeragarnan sepatu bagi siswa sekolah; kasus penggunaan dana Jamsostek untuk pembahasan RUUK atau kasus korupsi dan kolusi lainnya; terbongkarnya kasus aborsi (baca pembunuhan janin) massal; pelanggaran-pelangaran seksual (termasuk pesta seks); bahkan ramainya perbincangan tentang suksesi sepanjang 1997 dan gejolak mometer pada paruh kedua 1997; dan tak kalah hebatnya adalah tumbuh suhurnya isu­-isu.

Puasa Menahan Ambisi

Puasa dalam kosa kata keseharian kita mengandung makna menahan diri. Makna seperti itu juga terdapat pada kata asalnya, syiam yang berarti menahan diri dari sesutu. Dalam parktik puasa, scsungguhnya kita sudah sangat paham terhadap apa-apa yang harus kita tahan. Menahan diri untuk tidak makan, minum dan huhungan suami istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Juga menahan marah. Menahan untuk tidak berbohong. Menahan diri dari ucapan kotor dan tercela. Menahan diri dari perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan.

Jika kita sarikan, semua hal-hal yang perlu kita tahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan keinginan-keinginan hawa nafsu.

Puasa dengan segala kesempurnaan pemahaman, baik secara lahiriyah maupun maknawiyah, melatih kita untuk mampu menahan seluruh potensi ketidak-terkendaliannya hawa nafsu. Mungkin, hal-haI yang perlu kita tahan, jika kita pandang secara lahiriyah, terkesan remah. Tetapi sesungguhnya kesemuanya itu merupakan latihan-latihan yang sangat berarti dalam menahan nafsu-nafsu besar yang mengerubungi ambisi-ambisi kita.

Tahan makan dan minurn. Berarti tahan diri Anda dari amhisi “memakan” dan “meminum” sesuatu di luar jangkauan kepemilikan kita. Jangan bakar hutan jika sekedar untuk menumpuk harta yang tidak akan habis diwarisi oleh tujuh keturunan. Jangan korupsi jika belum mampu beli Mercy atau BMW. Puasalah dari korupsi. Puasalah dari ekploitasi semena­-mena. Tahan berkata bohong, artinya jangan main curang, jangan manipulasi data, jangan main rekayasa. Tahan ambisi untuk menjadi pemenang mutlak sebuah pertarungan dengan kecurangan-kecurangan. Puasalah dari vested interst.

Tahan nafsu seksual, artinya jangan lakukan hubungan suami istri sebelum dilakukan akad pernikahan. Jangan main seks bebas. Jangan demi ambisi seksual, lalu Anda halalkan segala cara pemuasannya. “Tahan marah, artinya meskipun anakrnu itu terlahir di luar pernikahan, jangan dibunuh. Engkau membunuh berarti engkau tidak mampu mengendalikan ambisi angkara murkamu yang ke seklian kalinya”. Puasalah agar tidak melakukan aborsi.

Tahan dari perhuatan tercela, artinya jangan Anda gadaikan idealisme Anda demi ambisi segebok suap-kolusi. Tahan ambisi Anda untuk rnempengaruhi kebijakan dengan cara “damai-suap” atau “damai-kolusi”. Puasalah agar tidak melakukan suap dan kolusi.

Tahan ambisi-ambisi kekuasaan yang memperkokoh status quo. Tahan ambisi-ambisi kekuasaan yang mencarut-marutkan masyarakat dengan isu dan intrik-intrlk. “Puasalah dari kekuasaan. Puasalah … puasalah … tahan … tahan ….”

Jadi, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menilai sejauhmana tingkat keberhasilan kita atau masyarakat kita dalam melaksanakan puasa, yang secara lahiriyah sangat hiruk pikuk. Lihat sejauhmana kita dan masyarakat kita mampu menahan diri. Bukan saja menahan diri dari sesuatu larangan yang kecil, juga ambisi-ambisi besar kita.

Betapa nikmat dan barakahnya puasa yang kita lakukan!

Menahan Ambisi dengan Puasa

Ambisi sebenarnya adalah sesuatu yang wajar. Katakanlah sebuah cita-cita atau harapan-harapan optimisme pada masa depan. Menjadi tidak wajar jika ambisi itu melampaui batas-­batas kewajaran kita. Artinya, baik “sesuatu” yang akan kita capai maupun cara-cara pencapaiannya masih berada dalam jangkauan kemanusiaan kita. Namun apahila keduanya melebihi kapasitas-kapasitas kita, maka ambisi itu menjadi sesuatu yang “utopis”. Uniknya sesuatu “utopis” itu kemudian menjadi sama kenyataan, berkat “pengerahan segala daya upaya”, termasuk dengan menghalalkan cara atau menginjak kepala orang lain.

Kasus-kasus pelanggaran moral dan ketidakseimbangan lingkungan (hidup atau sosial) yang terjadi selama 1997 adalah “prestasi-prestasiyang dicapai oleh sikap-sikap ambisius: ada pemilu yang menumbuhkan dan menyulut sikap anarki; dari kuningisasi, kamipanye yang melahirkan mayat-mayat, proses pemilihan yang “tidak bersih” (baca curang); ada kebakaran hutan lengkap dengan asap-jelaga, yang sangat menyesakkan pernafasan sekaligus memalukan bangsa; adanya upaya penyeragarnan sepatu bagi siswa sekolah; kasus penggunaan dana Jamsostek untuk pembahasan RUUK atau kasus korupsi dan kolusi lainnya; terbongkarnya kasus aborsi (baca pembunuhan janin) massal; pelanggaran-pelangaran seksual (termasuk pesta seks); bahkan ramainya perbincangan tentang suksesi sepanjang 1997 dan gejolak mometer pada paruh kedua 1997; dan tak kalah hebatnya adalah tumbuh suhurnya isu­-isu.

Puasa Menahan Ambisi

Puasa dalam kosa kata keseharian kita mengandung makna menahan diri. Makna seperti itu juga terdapat pada kata asalnya, syiam yang berarti menahan diri dari sesutu. Dalam parktik puasa, scsungguhnya kita sudah sangat paham terhadap apa-apa yang harus kita tahan. Menahan diri untuk tidak makan, minum dan huhungan suami istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Juga menahan marah. Menahan untuk tidak berbohong. Menahan diri dari ucapan kotor dan tercela. Menahan diri dari perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan.

Jika kita sarikan, semua hal-hal yang perlu kita tahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan keinginan-keinginan hawa nafsu.

Puasa dengan segala kesempurnaan pemahaman, baik secara lahiriyah maupun maknawiyah, melatih kita untuk mampu menahan seluruh potensi ketidak-terkendaliannya hawa nafsu. Mungkin, hal-haI yang perlu kita tahan, jika kita pandang secara lahiriyah, terkesan remah. Tetapi sesungguhnya kesemuanya itu merupakan latihan-latihan yang sangat berarti dalam menahan nafsu-nafsu besar yang mengerubungi ambisi-ambisi kita.

Tahan makan dan minurn. Berarti tahan diri Anda dari amhisi “memakan” dan “meminum” sesuatu di luar jangkauan kepemilikan kita. Jangan bakar hutan jika sekedar untuk menumpuk harta yang tidak akan habis diwarisi oleh tujuh keturunan. Jangan korupsi jika belum mampu beli Mercy atau BMW. Puasalah dari korupsi. Puasalah dari ekploitasi semena­-mena. Tahan berkata bohong, artinya jangan main curang, jangan manipulasi data, jangan main rekayasa. Tahan ambisi untuk menjadi pemenang mutlak sebuah pertarungan dengan kecurangan-kecurangan. Puasalah dari vested interst.

Tahan nafsu seksual, artinya jangan lakukan hubungan suami istri sebelum dilakukan akad pernikahan. Jangan main seks bebas. Jangan demi ambisi seksual, lalu Anda halalkan segala cara pemuasannya. “Tahan marah, artinya meskipun anakrnu itu terlahir di luar pernikahan, jangan dibunuh. Engkau membunuh berarti engkau tidak mampu mengendalikan ambisi angkara murkamu yang ke seklian kalinya”. Puasalah agar tidak melakukan aborsi.

Tahan dari perhuatan tercela, artinya jangan Anda gadaikan idealisme Anda demi ambisi segebok suap-kolusi. Tahan ambisi Anda untuk rnempengaruhi kebijakan dengan cara “damai-suap” atau “damai-kolusi”. Puasalah agar tidak melakukan suap dan kolusi.

Tahan ambisi-ambisi kekuasaan yang memperkokoh status quo. Tahan ambisi-ambisi kekuasaan yang mencarut-marutkan masyarakat dengan isu dan intrik-intrlk. “Puasalah dari kekuasaan. Puasalah … puasalah … tahan … tahan ….”

Jadi, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menilai sejauhmana tingkat keberhasilan kita atau masyarakat kita dalam melaksanakan puasa, yang secara lahiriyah sangat hiruk pikuk. Lihat sejauhmana kita dan masyarakat kita mampu menahan diri. Bukan saja menahan diri dari sesuatu larangan yang kecil, juga ambisi-ambisi besar kita.

Betapa nikmat dan barakahnya puasa yang kita lakukan!

Ambisi Hitam

Semua berawal dari sebuah mimpi

Semua tentu mau untuk menjadi yang terbaik

Karena itu mereka selalu bersaing selama di dunia ini

Nafsu itulah yang membuat ambisi tiap detik

Mereka tak ada satupun yang memikirkan tujuan

Hanya untuk mengalahkan dan menumpas lawan semata

Hanya persaingan yang berbuntut kecewaan dan air mata

Hanya untuk menjadi orang yang haus akan kemenangan

Berbagai cara dilakukan untuk mengalahkan

Berbagai cara dilakukan untuk menjatuhkan

Cara curang sudah menjadi makanan sehari-hari

Di tengah dunia nafsu yang kejam ini

Apakah tujuan seseorang diberikan nafas kehidupan ?

Apakah hanya untuk menjatuhkan lawan ?

Hanya untuk meraih kebanggaan atas kemenangan ?

Apakah hanya demi itu mereka membuang arti kehidupan?

Semua pertanyaan yang retorik, tak memerlukan jawab

Karena jelas, memang banyak orang kehilangan sebab

Untuk menemukan arti hidup sesungguhnya

Karena mereka lebih suka memuaskan nafsu semata

Berbagai kekejian di mata Allah tak enggan lagi dilakukan

Berbagai dosa tak lupa menghiasi kehidupan

Kini kehidupan hanyalah berbentuk sebuah ironi

Karena di dunia ini sudah keji abadi

Masih adakah harapan untuk dunia ini ?

Akankah ada yang bisa menggetarkan dunia yang sunyi ?

Mengembalikan semuanya ke jalan-Nya

Menjadikan dunia ini lebih berwarna

Dunia yang hitam dan putih mulai pergi

Digantikan oleh dunia lain yang berwarna-warni

Kapankah saat itu akan datang ?

Harapan yang tak lenyap meski malang melintang