Friday, November 16, 2012

Let's Pray & Saving Palestine....( Part.1 )

Foto-foto hasil kebiadaban Zionis...



 
 
 
 
 
 
 


                                                        Kapan ini akan berakhir.....




Monday, November 12, 2012

Menuju Peradaban yang Lebih “Diberkahi”


oleh: Shalih Hasyim

SEJAK awal perkembangan Islam, langkah fundamental yang diambil oleh Rasulullah Saw untuk membumikan nilai-nilai Islam, adalah mencari lingkungan yang steril dari kontaminasi dan dominasi hukmu al jahiliyyah (hukum jahiliyah), tabarruj Al Jahiliyyah (tatanan sosial yang mengabaikan moral), Zhan Al Jahiliyyah (gaya hidup yang menuhankan materi),hamiyyatul jahiliyyah (kultur jahiliyah) dalam segala dimensinya.
Membangun Islam dalam lingkungan yang tidak kondusif dengan begitu, laksana menanam benih di lahan yang gersang, kering kerontang. Tentu benih yang ditanam tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang subur. Bahkan, kemungkinan besar akan layu. Hidup segan, mati tak mau. "Laa yamuutu wa laa yahyaa."
Umar bin Khathab ketika memimpin upacara pemberangkatan para dai ke berbagai belahan dunia: Fii ayyi ardhin taqo’ anta mas’ulun ‘an Islamiha (di bumi manapun anda berdiam, anda memiliki tugas untuk mengIslamkan penduduknya).
Selama 13 tahun Rasulullah Saw dan para sahabatnya berIslam di Makkah, terbukti hanya beberapa gelintir orang yang menyambut seruannya. Itupun, sebagian besar berasal dari kalangan grass root(mustadh’afin)..Karena lingkungan sosial Makkah didominasi kemusyrikan. Penyakit molimo (minum, mencuri, membunuh, main perempuan, berjudi, memakan riba) yang diderita masyarakat sudah pada stadium akut.

Rasulullah Saw bersabda :
 “Seseorang itu tergantung agama kekasihnya, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.” (HR. Ahmad )

Dalam Hadits lain disebutkan, “
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua lah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu pentingnya sebuah lingkungan (
al Biah), sehingga sastra arab mengatakan : “Nahnu ibnul biah.” (kita adalah produk sebuah lingkungan). Ada ungkapan lain yang senada: “Al Jaaru qabla ddar.” (mencari tetangga yang sepaham/sefikrah terlebih dahulu sebelum membangun rumah). Manusia itu diperbudak oleh kebiasaan dimana ia berdiam, kata sastra Arab. Seseorang yang akrab, dekat dan erat dengan penjual minyak wangi, akan terkena bau wangi, seseorang yang dekat dengan pandai besi, akan kecipratan bau besi. Seseorang yang dekat dengan orang-orang pilihan, ia akan terpengaruh oleh mereka.
Jadi, lingkungan yang Islami merupakan hidden curiculum yang akan merekonstruksi/menata ulang struktur kepribadian penghuninya menjadi Islami. Sebaliknya kawasan yang jahili akan membentuk pola pikir dan sikap mental jahiliyah penghuninya pula.

“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.”
(HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).

Ketika Rasulullah Saw dan para sahabat As Sabiqun Al Awwalun ( angkatan Islam pertama) itu merasakan bumi Makah terlalu sempit menampung idealisme tauhid, Beliau ekspansi dakwah dan mencari basis teritorial lain yang lebih menjanjikan. Sehingga beliau memilih tanah Thaif sebagai alternatif pertama, tetapi respon kaum Thaif tidak menyenangkan. Bahkan beliau dilempari dengan batu. Kemudian mengadakan hijrah ke Habasyah. Namun imigrasi yang kedua ini kurang lebih sama dengan tujuan hijrah pertama. Sekalipun Raja Habsyi cukup toleran, hanya ghulam (seorang pemuda) yang masuk Islam ketika tertarik melihat Rasulullah Saw makan dengan membaca doa.
Baru setelah hijrah ke Madinah terjadi perkembangan spektakuler baik dari segi kaulitas maupun kuantitas kaum Muslimin. Dalam waktu 10 tahun di Madinah, kaum muslim tercatat 10.000 orang. Peristiwa hijrah ini kemudian dijadikan Khalifah Umar bin Khathab sebagai momentum penetapan tahun baru Islam. Sekalipun banyak peristiwa besar yang mendahuluinya, seperti pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dll. Dari sini titik tolak perubahan totalitas kaum muslimin pertama terjadi.

Pelajaran Fundamental Hijrah

Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa hijrah ini, dikaitkan “hijrah” modern dengan visi membangunan peradaban Islam ke depan.

Pertama: Reformasi itu dimulai dari level kepemimpinan

Yang perlu diluruskan bahwa hijrah itu tidak identik dengan urbanisasi. Karena hijrah itu menuntut adanya perubahan secara radikal dan total. Dan setiap perubahan itu, berimplikasi sangat jauh. Perubahan itu memerlukan pengorbanan, maka terasa pahit. Apalagi jika seseorang itu telah membangun imperium, kedaulatan, status quo sudah sedemikian kokoh. Dipagari oleh kesetiaan dan hak-hak istimewa. Dalam kondisi demikian, perubahan itu biasanya ditafsirkan dengan instabilitas, anti kemapanan dll.
Dari berbagai teori perubahan, kejatuhan dan kebangunan negara dapat dipahami bahwa perubahan itu akan sukses jika di pelopori dari setiap individu, utamanya kalangan elitis sebuah komunitas. “Taghyiiru khuluqil ummah taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadah,” (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah di kalangan elit kepemimpinan), kata Ibnu Khaldun. Jika kita getol menyapu lantai rumah, sementara kotoran atapnya dibiarkan menempel, maka lantai akan kotor kembali.

Kedua: Komitmen terhadap regenerasi

Kepimpinan yang baik adalah mempersiapkan penggantinya. Penerus dan pewaris perjuangannya. Sebab usia seorang pemimpin umumnya lebih pendek dibandingkan dengan nilai immaterial, misi yang diperjuangkan. Bahkan ummat Muhammad hanya berumur berkisar 60 sampai 70 tahun (HR. Ahmad). Nilai-nilai moral yang tidak secepatnya diwariskan, maka negara, intitusi, akan kurang dinamis dalam merespon perubahan sekitarnya. Yang dimaksud kader disini adalah seseorang yang dididik, disiapkan, disetting, untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam sebuah keluarga, partai, intitusi, lembaga, negara. Oleh karena itu sebelum Rasulullah Saw hijrah, telah mempersiapkan Ali untuk menggantikan tempat tidurnya. Dengan regenerasi maka kesinambungan amal dan transfer nilai akan berjalan dengan baik.

Ketiga: Memperkuat Sandaran Vertikal

Ketika rumah Rasulullah Saw sudah dikepung oleh para algojo dari berbagai kabilah Arab untuk menghabisi nyawanya, beliau tetap memiliki kestabilan jiwa. Hal ini merupakan salah satu buah ketargantungannya (
ta’alluq) kepada Al Khaliq yang sudah terlatih selama 13 tahun di Makkah. Bahkan pada malam hari, saat memutuskan berangkat secara rahasia bersama kekasihnya Abu Bakar, beliau membacakan salah satu firman Allah Swt. :

وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدّاً وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدّاً فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ
“Dan Kami adakan dihadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin 36/9).

Setelah itu para algojo itu tidak bisa mendeteksi kepergian Rasulullah Saw. karena dibuat mengantuk oleh Allah. Setelah memasuki rumah beliau merasa terheran-heran, ternyata yang menempati tidur Rasulullah Saw adalah anak pamannya Abu Thalib, Ali kw. Betapa terkejutnya mereka. Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar yang lebih canggih kepada mereka.
Sebuah bangsa yang dibangun tanpa memperhatikan aspek moral, keterlibatan Tuhan maka ucapkanlah taziyah (ucapan terakhir untuk mayit) kepada bengsa itu. Negara yang dibangun dengan mengabaikan peranan Tuhan, laksana membangun istana pasir atau permukaan balon. Negara itu akan keropos, mudah rapuh oleh tangan jahil penghuninya atau oleh konspirasi eksternal.

Keempat: Membangun sinergi dengan pihak lain

Sesungguhnya eksistensi sebuah peradaban sangat didukung oleh ketrampilannya dalam membangun kerjasama dengan pihak lain. Untuk mendukung keberhasilan hijrah, Rasulullah Saw bekerjasama dengan penggembala kambing orang Nasrani (Abdullah) untuk menghilangkan jejak dan rute yang dilewati. Sehingga beliau dan Abu Bakar menaiki Gua Tsur dengan aman. Tanpa sepengetahuan musuh-musuhnya.
Sesungguhnya ajaran Islam menjunjung tinggi kerjama dalam kebaikan dan taqwa. Dan menolak sinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.Ciri yang paling menonjol akhlaq Islam dengan agama lain adalah menjunjung tinggi kesepahaman dan tidak menghalalkan segala cara. Bertolak belakang dengan sistem politik Machiavelli. “Al ghoyatu tubarrirul wasaa-il” (segala cara ditempuh, demi mencapai tujuan). Maka ada sebuah pameo; “Tidak ada kawan abadi, yang kekal adalah kepentingan.”
Disamping konsep Islam teguh dalam persoalan prinsip, terbuka pula dalam menerima perubahan-perubahan yang bersifat tekhnikal. Rasulullah telah mengajarkan sikap keterbukaan dalam memandang perbedaan. Perbedaan pandangan adalah suatu fitrah. Bahkan dengan beragam perbedaan itu bisa mendewasakan seseorang. Yang penting, mensiasati dan mengelola perbedaan itu agar menjadi produktif. Islam mengajarkan sepakat dalam persoalan prinsip dan toleran dalam perbedaan yang bersifat non prinsip. Oleh karena itu, kita dituntut menyederhanakan perbedaan dan mengedepankan kesepahaman. Dengan kerjasama yang baik antara berbagai komponen komunitas (pemimpin (Rasulullah), generasi tua (Abu Bakar), kalangan pemuda (Ali krw) kesulitan dan tantangan seberat apapun akan mudah diatasi.

Kelima: Pemberdayaan perempuan

Sesungguhnya wanita adalah saudara laki-laki (
syaqoiqur Rijal). Dalam Islam laki-laki dan wanita itu satu kesatuan. Bahkan wanita itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari satu jiwa, maka laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan yang berprestasi akan mendapatkan balasan yang sama.Oleh karena itu Allah memberikan tugas dan kewajiban kepada makhluq-Nya sesuai dengan fungsi kodratinya.
Perempuan yang terdidik dengan baik, memiliki kualitas yang melebihi laki-laki. Asma’ binti Abu Bakar dalam usia belia berhasil mengomandani urusan logistik ketika hijrah. Sekalipun medan yang dilewati terjal, dan nyawanya terancam. Demikianlah perempuan yang berkualitas, mengungguli bidadari. Karena bidadari masuk surga karena takdir. Sedangkan wanita shalihah berhasil karena perjuangan. Ketika masuk surga, menghargai tempat yang dihuni.
Sebaliknya wanita yang dibiarkan bengkok, maka kejahatannya akan melebihi laki-laki. Masih ingatkah kita peristiwa pembedahan dada mayat Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian digigit hatinya. Itulah perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Hindun. Sehingga ketika telah masuh Islam, Rasulullah melihat wajahnya dengan cemberut. Terbayang dengan peristiwa yang memilukan/menyayat hati.

Wanita shalihah lebih baik dari bidadari. Karena wanita shalihah berhasil berkat perjuangannya (mujahadah). Ketika masuk surga, ia menghargai posisi yang ditempatinya. Sedangkan bidadari masuk surga secara cuma-cuma (majjanan). Ia tidak merasakan pentingnya tempat yang dihuni (Hadil Arwah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah).

Keenam: Membangun pola kepemimpinan Imamah

Ketika di Gua Tsur Abu Bakar merasa cemas, Rasulullah Saw menghiburnya:
 Laa tahzan innalloha ma’anaa(Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita). Pada ayat ini beliau menggunakan khithab (pembicaraan)nun jama’ (prular) “ma’anaa”. Disini diambil pelajaran pentingnya berjamaah dalam membangun peradaban.
Berjamaah adalah media yang efektif dan efisien dalam memperkecil konflik. Mengesampingkan perbedaan dan menonjolkan persamaan. Berjamaah adalah fitrah manusia. Dengan berjamaah kita menyadari keterbatasan kita. Keberhasilan kita terwujud didukung oleh pengorbanan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran kita di bumi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama kedua orang tua kita. Sesungguhnya kita berasal dari percikan-percikan air (qothorot) dan menjadi manusia (fashorot insanan).
Keberhasilan yang dinikmati sendirian, tidak terlalu membahagiakan. Kesusahan yang ditanggung secara kolektif, maka derita menjadi ringan untuk dipikul. Itulah pentingnya kebersamaan. Dan karena kelemahan kita, menuntut adanya kerja sama dengan pihak lain di luar kita. Bahkan menjaga keshalihan kita mustahil terwujud tanpa berjamaah.
Kebenaran tanpa aturan, terkadang dikalahkan oleh kebatilan yang teratur kata Imam Syafii. Dunia ini dikuasai oleh negara Super Power. Namun, yang sedikit kita ketahui, dibalik kekuatan negara adi kuasa itu, terbukti ada kekuatan penekan (jama’atudh dhoghthi) yang diperankan oleh jaringan mafia kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Dunia ini dikuasai oleh mafia. Wajar, jika kita menyaksikan media informasi di dunia ini tidak mendidik.
Demikian, beberapa pesan yang bisa dipetik dari hijrah. Yang jelas, “Al Hijratu maadhin ilaa yaumil qiayamah.” (hijrah tetap berlangsung sampai hari kiamat). Baik secara maknawi (hajara, meninggalkan segala bentuk maksiat), pula yang bersifat makani (haajara : meninggalkan lingkungan yang tidak Islami). Ketika Islam belum mendominasi kehidupan. Berbeda dengan haji, hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Sebaliknya, selama Islam belum tegak secara de jure dan de vacto, perintah hijrah bersifat wajib sampai hari kiamat sekalipun tidak memiliki apa-apa dan berangkat harus ditempuh dengan berjalan kaki, memakan urat pohon, tempat yang dituju tidak menjanjikan kehidupan dll, menurut jumhur ulama.

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa (4) : 100).

Allah akan memberikan pertolongan kaum muhajir di tempat yang baru dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan.
 Bakkah (lingkungan yang membuat orang menangis) yang semula ditempati Ibu Hajar dan Ismail, menjadi Makkah Al Mukarromah (tempat yang diberkahi dan dimuliakan). Tempat yang membuat daya tarik spiritual bagi yang pernah mengunjunginya. Gua dikelola oleh ashhabul kahfi menjadi pusat dakwah. Penjara dirubah oleh Yusuf menjadi sarana tarbiyah. 

Jika di tempat pertama belum ditemukan janji Allah, maka carilah tempat yang lain. Karena di tempat yang baru ini Allah akan membuktikan jaminan-Nya. Bukankah bumi Allah itu luas?

Jika bahan pembuatan pabrik di perut bumi tertentu habis, carilah bumi yang lain. Insya Allah tempat yang baru akan ditemukan limpahan karunia-Nya.*

Sunday, November 11, 2012

Membangun Akal Raksasa dengan Kecerdasan Qurani


Oleh: Shalih Hasyim


DALAM episode sejarah kehidupannya, sekalipun Muhammad dipersiapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala selama empat puluh tahun lamanya untuk menjadi komunikator-Nya, terbukti belum cukup. Segudang pengalaman, meliputi pengalaman spiritual, psikologi, diplomasi, pekerja sosial, militer, parenting, pemimpin, figur publik,  tidak memadai sebagai modal untuk dijadikan problem solving dalam menterapi patologi sosial yang menjangkiti bangsanya pada stadium akut.

وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. Adh Dhuha (93) : 7)

Bingung yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah/rute -  untuk memperoleh kebenaran mutlak (
al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main perempuan) menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Itulah sebabnya, beliau senang
 berkhalwat (menyendiri) selama tiga tahun untuk mengadakan perenungan yang luar biasa (untuk mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah)  di Gua Hira.
Dan ketika struktur kepribadiannya sudah matang menurut penilaian-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan larangan yang terasa berat dipikul secara pisik dan jiwa. Ternyata, keunggulan isi al-Quran  baru fungsional sebagai petunjuk jika didukung kehebatan pelakunya. Konsep yang agung memerlukan pelaksana yang sepadan dengan kemuliaannya.

“Kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al Hasyr (59) : 21).
“Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi Jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran Itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ar Ra’du (13) : 31)

Ahli tafsir mengatakan ”
Al-Quran la yunthiq walakin yunthiquhur rijal” (Al-Quran tidak dapat berbicara (hanya berupa tulisan yang kering), tetapi yang mengucapkannya dengan lantang adalah manusia).

Jadi, Al-Quran adalah petunjuk kehidupan yang diturunkan Allah untuk Muhammad dan seluruh umat manusia. Bukan diturunkan untuk orang yang telah meninggal dunia. Sebagai pemandu tata kelola dan tata laksana kehidupan (
manhajul hayah) agar memperoleh kebahagiaan dan keselamatan di dua tempat (sa’adatud daraini – di dunia dan akhirat).
Hanya saja yang perlu menjadi titik tekan (stressing) disini Allah tidak membatasi wahyu yang terakhir sebagai petunjuk peribadatan (hablun minallah) ansich. Atau hanya mengandung ayat-ayat hukum, sejarah, etika, atau dimensi keilmuan yang lain. Jika Al-Quran hanya kita pandang sebagai ilmu, kekayaan intelektual, maka apa bedanya dengan ilmu yang lain ?. Tetapi memuat rumusan yang jitu untuk sukses dalam menjalin komunikasi dengan Allah Subhanahu Wata’ala, sesama manusia dan makhluk lainnya serta terhadap alam semesta.

Ketika wahyu yang pertama kali diturunkan, yakni surah al-Alaq (96)  ayat 1-5, Al-Quran justru meletakkan prinsip/landasan berpikir dan bertindak yang amat penting bagi manusia, yaitu ilmu pengetahuan. Membaca adalah langkah awal menuju ditemukannya berbagai ilmu pengetahuan, dan itulah perintah pertama (sebelum perintah yang lain) yang diturunkan Tuhan melalui wahyu yang pertama turun.
Dengan perintah membaca yang diulangi dua kali mengajarkan, sesungguhnya sekalipun obyek bacaan hanya itu-itu saja akan melahirkan inspirasi, tafsir, ide, cara pandang  baru dari yang sudah ada. Dan itulah diantara keunggulan wahyu Allah SWT. Berbagai penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan akan terjadi jika proses membaca dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.

Syeikh Muhammad Abduh mengatakan, “
berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, al-Quran bagaikan gadis (belum disentuh oleh campur tangan tangan jahil manusia), jika dibaca secara terus-menerus akan melahirkan makna-makna baru dari sebelumnya.”

Dengan ayat pertama itu sekaligus mengandung petunjuk bagaimana seharusnya manusia itu membaca. Dalam melakukan aktifitas membaca melazimkan adanya proses spiritual (
riyadhah dan mujahadah – olah batin - )  terlebih dahulu. Yakni bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dalam membaca obyek bacaan apa saja, hendaknya berpijak pada tuntunan, bimbingan dan arahan Allah Subhanahu Wata’ala (taujih ilahi), bukan berdasarkan pikiran manusia belaka. Karena firman Tuhan yang maha mutlak kebenarannya (al-Haqiqah al-Muthlaqah) memiliki cara sendiri, bagaimana seharusnya ia dipahami. Dengan cara demikian akan melahirkan ilmuan yang didahului oleh kesadaran ilahiyah dalam dirinya. Tanpa bimbingan-Nya.
Nabi Ibrahim, sekalipun manusia pilihan Allah SWT, terbukti tidak bisa menemukan Tuhannya, tanpa arahan dan bimbingan dari-Nya.

Masih dalam wahyu pertama turun itu, Al-Quran telah memberi isyarat obyek bacaan yang amat penting. Yaitu penciptaan manusia dari segumpal darah (min ‘alaq). Bagaimana kejelasan eksistensi manusia lebih lanjut, manusia dipersilahkan oleh Tuhan untuk membacanya (mengadakan penelitian) lebih jauh sehingga menemukan ilmu pengetahuan tentang embriologi. Manusia diarahkan untuk melihat ke atas (langit), ke tengah (diri sendiri) dan ke bawah (bumi dan seisinya serta tempat kembali manusia). Melihat ke tiga arah tersebut mengantarkan manusia menjadi fisikawan, embriologi dan ahli geologi.
Demikianlah sekedar sebuah contoh untuk menunjukkan bahwa Al-Quran petunjuk kehidupan manusia yang perlu terus digali  kandungan maknanya, baik secara tekstual dan kontekstual.
Jika terus digali dan dielaborasi kandungan maknanya dan tidak dibatasi atau berhenti pada masalah-masalah ushul – prinsip-prinsip yang tidak berubah saja -  (aqidah, ibadah dan akhlak), tetapi pula masalahfuru’ (tidak prinsip), Al-Quran potensial membuat umat Islam menjadi cerdas dalam memahami, memilah-milah, mengurai (ahlul halli wal ‘aqdi) dan menyikapi berbagai persoalan dalam kehidupan ini. 
   
 
Imam Nawawi mengatakan,”
Al-Quran Hammalatul Makna” (Al-Quran mengandung kedalaman makna yang terus berkembang mengikuti dinamika zaman). 

Jika kemampuan itu dimiliki, itulah yang dinamakan sebagai kecerdasan Qurani atau
 Quranic Quotient. Kecerdasan qurani identik dengan kecerdasan tingkat tinggi - supra rasional, kemampuan untuk memahami dan menyikapi sesuatu hal (keadaan/masalah) dengan cara pandang Al-Quran. Pendengaran, penglihatan, hati dan instrumen lain yang dikaruniakan oleh Allah SWT mengalami disfungsi jika disconnect terhadap kalimatullah (ayat-ayat quraniyah) dan khalqullah (ayat-ayat kauniyah).


أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللّهِ وَلاَ يِنقُضُونَ الْمِيثَاقَ
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الحِسَابِ
وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَؤُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,. dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan[tali silaturrahim], dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu." (QS. Ar-Ra’du (13) : 19-23).

Umat Islam akan dapat hidup
 at home – sejahtera lahir dan batin - makan kenyang, pakaian lengkap, tidur nyenyak, hunian yang layak. Mereka hidup benar-benar sesuai dengan tuntunan Al-Quran dalam menghadapi pasang-surut (naik-turun kehidupan) dan dalam kondisi apapun dan bagaimanapun, bila memiliki dan mendayagunakan kecerdasan qurani. Jadi, kecerdasan qurani adalah alat yang efektif dan efisien dalam menghadapi fluktuasi dan dinamika zaman dan persoalan yang menyertainya. Sesuatu yang ironis, kenyataan membuktikan dan menunjukkan bahwa dewasa ini umat Islam sendiri masih sangat awam dan mayoritas jauh dari Al-Quran.
Realitas yang timpang tersebut, umat islam sudah waktunya digalakkan terus untuk memperbaiki dalam berinteraksi dengan Al-Quran, dibimbing untuk dekat dengannya, membaca dan memahami kandungannya. Dengan cara itulah Al-Quran berhasil merekonstruksi pola pikir, hati dan perilaku umat Islam yang pertama (as-Sabiqun al-Awwalun). Itulah dasar bagi dibangunnya kecerdasan qurani itu.

Ayat-ayat tanziliyah dan ayat-ayat kauniyah

Bertolak dari pemikiran diatas betapa pentingnya dibangun dan ditumbuh kembangkan kecerdasan qurani itu. Kecerdasan qurani harus dimulai sejak dini (ketika panca indranya dan indra lainnya belum terkontaminasi oleh residu lingkungan sosialnya), terus berkelanjutan dan terprogram.
Mungkinkah kita memperoleh kecerdasan qurani tanpa mentadabburi kandungannya, sebagaimana yang diisyaratkan firman Allah Subhanahu Wata’ala di awal tulisan ini?    Potensi penglihatan, pendengaran, hati, yang tidak diberdayakan untuk berinteraksi dengan ayat-ayat tanziliyah dan ayat-ayat kauniyah yang digelar di setiap ufuk, akan mengalami disfungsi. Yakni, tuli dalam mendengarkan kebenaran wahyu, bisu dalam mengucapkan kebenaran wahyu dan buta dalam melihat kebenaran wahyu.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-Araf (7) : 179).

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata "Kami mendengarkan [hatinya mengingkarinya], Padahal mereka tidak mendengarkan. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli [tidak mau mendengar, menuturkan dan memahami kebenaran] yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS. Al-Anfal (8) : 21-22).

Kecerdasan qurani melebihi/mengungguli/mengatasi kecerdasan yang pada umumnya dimiliki manusia, yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Jika kecerdasan spektakuler ini dimiliki oleh seseorang, maka akan  mencerdaskan pikirannya, menghaluskan hati dan perasaannya dan menggerakkan pisiknya untuk berjihad di jalan-Nya.
Dengan konsisten (istiqamah)  dan komitmen (iltizam) terhadap nilai-nilai yang diserap dari Al-Quran akan melahirkan kehidupan individu yang sejahtera lahir dan batin (hayatan thayyibah), keluarga sakinah,mawaddah wa rahmah, masyarakat yang penuh berkah – tumbuh dan berkembang dalam kebaikan (qaryah mubarakah), negeri yang aman (baladan amina), beberapa negeri yang makmur diliputi ampunan Tuhan Yang Maha Pengampun (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Wallahu a’lam bish-shawab.*

Friday, November 9, 2012

Takabbur, Diktator, Ananiyah: Trio Perusak Jiwa


oleh: Shalih Hasyim




IMAM Al Ghazali dalam karya monumentalnya“Ihya Ulumuddin” pernah menjelaskan; Pangkal pokok kerusakan pikiran adalah berselingkuh kepada Allah Subhanahu Wata’ala (syirik), sedangkan sumber kerusakan moral adalah sombong. Sifat yang pertama mengotori, dan merusak pola pikir (tashawwur), orientasi (ittijah), cara pandang (al wijhah), sifat yang kedua menghancurkan mata hati (bashirah).

Penyakit sombong adalah warisan dari iblis, sesuai dengan makna etimologisnya, membangkang (
ablasa). Awalnya iblis menempati surga diatas surga Adam (versi tafsir Ash Showi).
Ketika Allah mengadakan suksesi di surga, terbukti Adam yang terpilih menjadi khalifah berkat kualitas yang dimiliknya.. Pilihan ini terlalu pahit untuk diterima iblis, apalagi dia diperintahkan oleh Allah untuk sujud (hormat) kepada Adam. Keputusan Allah sangat menyakitan hati Iblis. Ia naik banding. Menolak untuk bersujud, kepada Adam dan mulai membanggakan asal-usul.
Sejak saat ia terusir dari surga, tetapi ia bersumpah di hadapan Allah untuk menggoda anak Adam. Dari arah belakang (supaya serakah terhadap dunia), muka (supaya ragu-ragu dengan kehidupan akhirat), kanan (syak terhadap al Haq) dan kiri (supaya pro kebatilan). Kecuali  arah atas dan arah bawah (hamba-Nya yang ikhlas). Arah atas lambang ketinggian Allah, dan arah bawah simbol ketundukan makhluq kepada Allah. Dua arah ini yang tidak bisa dimasuki iblis.

Penyakit akut inilah yang ditularkan kepada anak cucu Adam yang miskin iman (faqrul iman). Tokoh klasik yang sangat populer, dan mewarisi penyakit iblis, sehingga berulangkali dikisahkan di dalam Al Quran adalah Fir’aun di Mesir dan Namrud di Mesopotamia . Dengan keberhasilan dan kegagahannya dalam menjayakan bangsa Mesir semasa Nabi Musa as dilahirkan, telah berani menganggap dirinya sebagai penguasa tunggal. Ia menobatkan dirinya menjadi tuhan atau maharaja, pembuat dan penentu hukum. Ia menganggap harta dan tahtanya akan mengekalkannya, tanpa pensiun. Rakyat yang mengaguminya terbius dan menerima saja tuntutan Fir’aun (sendiko dhawuh – suarga nunut neroko katut – Bhs Jawa).
           
 
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata:
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَى
“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa.” (QS: Thoha (20): 120).

Rakyat Mesir akhirnya ditindas oleh Fir’aun, dan mulai menganggap dirinya tidak bersalah. Dia menerapkan pemerintahan bercirikhas “
Ath Thughyan” (tirani kekuasaan) Berbuat sewenang-wenang. Bersikap zhalim dan menindas. Menterlantartarkan kehidupan rakyatnya, menyakiti hatinya, merampas hak-haknya, menyumbat aspirasinya, merendahkan kehormatannya.

Yang berhak mengeluarkan pendapat, yang sesuai dengan keinginan penguasa. Demokrasi menjadi tersumbat. Dia memandang kritik dari intelektual yang bersikap obyektif, tetapi berseberangan dengan pendapat penguasa di identikkan dengan intrik (politik menjatuhkan). Penyakit iblis yang akut ini pun menular kepada rakyat Mesir. Mereka mempersepsikan bahwa tokohnya ini manusia berdarah biru, lebih mulia dari manusia yang lain. Mereka memandang di Mesir terdiri dari masyarakat berkelas. Ada kelas satu dan kelas dua. Hukum yang dijalankan pun laksana pisau. Tumpul untuk kelas atas dan tajam untuk kelas bawah. Pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi juga dilakukan dengan semangat kelas. Inilah awal kehancuran roda kehidupan pada masa itu.
Jika di dalam strukutur masyarakat ada yang merasa mulia, tentu ada yang berada di pihak lawannya, yaitu yang kurang derajatnya. Orang-orang Yahudi (Ya’qubiin) yang dibawa Nabi Yusuf dan para saudaranya ke Mesir  beberapa generasi sebelumnya, telah berkembang dengan makmur di bawah raja-raja sebelumnya. Rasa iri yang timbul di kalangan bangsa Mesir yang asli (qibthi) menyebabkan mereka tega menindas Yahudi.
Segala pekerjaan kotor dan berat ditugaskan hanya khusus oleh kaum Yahudi.  Bahkan mereka dijadikan budak bangsa Mesir yang harus bekerja, membanting tulang, memeras keringat, siang malam tanpa upah.
Allah Subhanahu Wata’ala melahirkan Musa  di kalangan bangsa Yahudi yang sedang tertindas. Musa sempat mengecap pendidikan tinggi di bawah asuhan Fir’aun. Ketika Musa as – menerima wahyu – menyatakan ajaran tauhid di hadapan Fir’aun bahwa satu-satunya yang benar dan paling berkuasa adalah Allah Al Khaliq, Fir’aun dengan atribut kemegahan dan kemegahan dunia menolak. Dan mengatakan seperti dalam statemen berikut:
 مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“…..Aku tidak menyangka bahwa kalian masih memiliki tuhan selain diriku… “(QS. Al Qashash: (28) : 38).”

Sesungguhnya pintu masuk sikap sombong, dimulai dari gila harta, kemudian gila tahta. Setelah semuanya dimiliki tanpa ditemani iman maka biasanya dirinya di personifikasikan sebagai simbol kekuasaan atau personifikasi dari Tuhan. Bukan berarti Fir’aun anti Tuhan.
Fir’aun yakin dengan wujudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Tetapi dia ingin mempertahankan status quo sebagai satu-satunya pembuat dan penentu undang-undang di negeri Mesir. Sehingga untuk memakmurkan Mesir, dia harus menghisap darah dan menindas, serta memperbudak kaum Yahudi. Ketika Musa mengingatkan dengan membawa ajaran Tauhid yang diantaranya menawarkan konsep musawah (persamaan derajat) ia menjadi gelap mata dan kebal telinga serta buta hati. 

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka (QS. Muhammad (47) : 22-23).

Dari Masa Ke Masa

Penyakit jiwa Fir’aun ini juga menular kepada Namrud. Ketika Ibrahim dilahirkan untuk meluruskannya, dan membuka pintu dialog ilmiah yang selama ini tertutup,, terpaksa harus menelan pil pahit, putra pembuat patung Azar itu dicitrakan sebagai biang keladi gerakan teroris. Setelah pihak kerajaan tidak berdaya menghadapi logika sehat dan argumentasi ilmiah Ibrahim, akhirnya ia di bakar hidup-hidup tanpa proses pengadilan.
Di atas pentas sejarah kemanusiaan berikutnya, setiap diktator (thaghut) selalu meletakkan kekuasaan tanpa pensiun. Kekuasaan adalah segala-galanya. Nyawa rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali berkaitan langsung dengan kelanggengan tahta. Politik menghalalkan segala cara asalkan tujuan tercapai (al ghayatu tubarrirul wasaail). Tiada persahabatan sejati, yang abadi adalah kepentingan.
Setiap tiran (diktator) biasanya memiliki hak-hak istimewa dan dikawal oleh tpendukung setia (penjilat), barisan (korps) tentara terlatih yang disiapkan untuk menumpas orang, kelompok yang dianggap sebagai pesaingnya. Yang berbeda dianggap sebagai bughat (pembangkang).

Yang mendukung (mbata, Bhs Jawa) ghalibnya mendapat imbalan khusus. Biasanya berbentuk cipratan (bagian-bagian kecil) dari kekuasaan dan ekonomi. Tetapi, tetap dibatasi oleh wewenang dan ekonomi tertentu (income yang kecil) dibandingkan dengan luasnya kekuasaan dan berlimpahnya ekonomi yang dimilikinya. Terjadilah ketidakadilan dalam pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi. Dari sinilah pangkal kerusakan setiap negara.
Obor iman dan ilmu pada fase-fase awal islam juga menjadi redup, ketika format ketatanegaraan yang islami di masa Khulafa ar Rasyidin yang adil  berubah menjadi sistem muluk (feodalisme), yang sudah sekian lama merupakan darah daging masyarakat Arab jahiliyah. Perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan paham tentang konsep kepemimpinan, merupakan cikal bakal perpecahan dan berakhir dengan pertumpahan darah. Semula perang saudara ini hanya melibatkan sejumlah kecil daerah, dan umat yang terbatas serta muda dikelola pengaruh iman dan ilmu para sahabat.
Setelah generasi sahabat, perang saudara kembali meledak dan menodai masyarakat yang dengan susah payah dibangun oleh Rasulullah saw. Sistem feodalisme (the man show) tidak berhasil mengawal dan mengelola daya kritis ilmuawan muslim. Perbedaan pendapat di kalangan ulama islam, ditunggangi oleh kepentingan politik yang sedang berkuasa.

Mulai perbedaan pendapat yang bersifat furu’iyah (cabang-cabaang ajaran) islam disikapi dengan ushul (pokok-pokok islam). Pengikut mazhab tertentu mencela pengikut ilmuan yang lain. Semula perbedaan pendapat berawal dari konsep kepemimpinan, berlanjut kepada berbagai persoalan kehidupan yang lain.  Perpecahan ini membuat umat islam lemah, tidak berdaya, jatuh terpuruk. Inferior dalam menghadapi benturan peradaban.
Para ulama yang berfikir ilmiyah dan obyektif, Imam Ahmad bin Hamabal, Ibnu Taimiyah, mendapat penyiksaan dari penguasa yang tidak manusiawi di penjara. Sehingga menghembuskan nyawanya yang terakhir. Sebelum meninggal, beliau dipisahkan dari tinta dan kertasnya dan dijauhkan dari pengikut-pengikutnya. Dan siksaan yang terberat adalah pencabutan  hak menyatakan pendapat.

Namun, sejarah juga berkali-kali membuktikan bahwa pemimpin yang takabur, batharul haq wa ghamthun nas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia), thughyan, yujawizul hadd (tirani, menabrak batasan),ananiyah (individualistis dan egois, mengutamakan diri sendiri) akan terpuruk dalam lubang yang digalinya sendiri. Lihat diktator Hilter, Mussolini, Syah Pahlevi Iran , Marcos, Duvalier, Soekrano dan Soeharto dll.*