Monday, August 1, 2011

Buletin Ramadhan : FILOSOFI SHALAT

Yahya bin Wastab meriwayatkan bahwa Ibnu Zubair sedang bersujud, sehingga seekor burung pipit hinggap di atas punggungnya. Burung itu mungkin mengira bahwa punggung beliau adalah dahan pohon kurma atau tembok.
Maslamah bin Yasar sedang mengerjakan shalat di dalam masjid, lalu salah satu sisi bangunannya roboh. Orang-orang pun bangkit, sedangkan dia tidak tahu bahwa ada bagian dari bangunan yang roboh.
Wow…! Menakjubkan, mengherankan, mungkin itulah yang terdetik dalam pikiran kita. Kok bisa ya, mereka segitunya dalam shalat. Memang hal itu terasa aneh, ajaib, dan mustahil, jika hal itu kita hubungkan dengan zaman kita sekarang.
Di tengah hiruk-pikuknya dunia, sedikitnya perhatian terhadap akhirat; kisah di atas mungkin terasa aneh dan mengherankan. Tapi semua itu nyata adanya. Generasi shalih pendahulu dari umat ini memang benar-benar mampu memaknai shalat tak sekadar rangkaian gerakan, namun mampu menikmati kehangatan dan kelezatannya… ya, mungkin selezat dan sehangat sup tumyang.

Fakta Membuktikan
Jujur saja, kemudian pilihlah; shalat dengan imam yang cepat dan shalat dengan imam yang lama! Ya, itulah faktanya. Masyarakat—kita termasuk di dalamnya—lebih memilih shalat dengan paket “kilat” atau bahkan “kilat khusus” daripada shalat yang low loading.

Sekadar “Rubuh Gedang”
Sudah shalatnya super kilat, gerakannya pun nyaris tak mencerminkan apa yang telah disunahkan oleh Rasulullah Muhammad. Ya…, orang jawa bila “rubuh gedang”
Maka, marilah kita berusaha menikmati dan menghayati shalat, sehingga ketenangan dan pertolongan yang dijanjikan Allah lebih dekat dengan diri kita.

Agar Shalat Selezat Cokelat
Rahasia, ruh, dan inti shalat adalah menghadapkan diri kepada Allah. Berikut hal-hal yang dapat menghantarkan kita pada kelezatan shalat.

8 Wudhu, dari sinilah awalnya
Secara lahir hanya sekadar membersihkan badan dan seluruh anggota ibadah. Namun, secara batin adalah membersihkan hati dari segala kotoran (dosa). Rasulullah mengabarkan:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
Barangsiapa berwudhu lalu membaguskannya, maka keluar dosa-dosanya dari jasadnya sampai keluar dari bawah kuku-kukunya. (HR. Muslim)
Diriwayatkan bahwa Ali bin Al-Husain jika berwudhu, maka raut mukan
ya pucat. Orang-orang pun bertanya sebabnya, maka jawabnya: “Apakah kalian tahu, untuk siapa aku hendak berdiri?”
Ya…, dari sinilah (wudhu) hendaknya kita menghadirkan hati, sehingga kelezatan shalat itu terasa dekat.

8 Ke masjid, ayo… berjamaah
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (At-Taubah [9]: 18)
Rasulullah bersabda, “Jika kalian melihat seseorang membiasakan diri mendatangi masjid, maka saksikanlah bahwa ia seorang mukmin.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Mardawaih, Al-Hakim)
Pahala berjamaah? Tentu, Allah tidak akan menyia-nyiakannya; 25 kali lipat atau 27 kali lipat pahala shalat sendirian.
Para ulama’ salafus shalih menyepakati akan keutamaan shalat berjamaah di masjid. Maka, ayo… shalat berjamaah!
8 Sifat shalat Nabi, itu mutlak
Rasulullah bersabda:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Gerakan, bacaan dan tata cara shalat yang diajarkan Rasulullah merupakan syarat mutlak untuk menikmati kelezatan shalat. Ya… mutlak!
Takbir
All
ohu Akbar, Allah Maha Besar. Bacalah dengan seluruh kerendahan hati, jangan sampai ada sesuatu selain Allah yang lebih besar di benak dan pikiran. Jika lisan telah bertakbir, sedang hati memikirkan kebesaran selain Allah, sungguh kita berdusta!
Fikih: membaca “Allahu Akbar”, pandangan matanya tertuju ke arah tempat sujud, mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari yang dirapatkan sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Hal ini didasarkan pada pernyataan Abdullah bin Umar, “Saya melihat Rasulullah saw memulai shalatnya dengan takbir lalu mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbir hingga kedua tangannya sejajar dengan pundak.”(HR. Al-Bukhari)
Meletakkan kedua tangan di atas dada setelah selesai mengangkatnya. Posisi tangan kanan berada di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hasta. Hal ini sesuai penuturan Wail bin Hujr, “Saya pernah shalat bersama Nabi saw, beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Istiftah
سُبحَانَكَ اللهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَ تَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ
Kalimat istiftah—dengan berbagai varian bacaan dengan sumber yang sahih—merupakan pujian kepada Raja Sang Pemilik Alam. Buanglah seluruh kelalaian dalam hati, sebab penghalang yang paling ber
bahaya antara kita dengan Allah adalah kelalaian.
Fikih: Ibnu Taimiyah—semoga Allah merahmatinya—menulis di dalam Kitab Qâ‘idah fî Anwâ‘i Al-Istiftah halaman 31, “Doa istiftah tidak tertentu pada bacaan ‘Subhanakallahumma’ dan ‘Wajjahtu Wajhiya’ dan lainnya, bahkan boleh membaca istiftah dengan bacaan-bacaan yang pernah diriwayatkan. Akan tetapi, antara satu dengan lainnya mempunyai keutamaan yang didukung dengan dalil lain.” Doa istiftah memang ada beberapa varian bacaan yang masing-masing diriwayatkan dari sumber yang shahih (LIhat Shalat Rasulullah, Media Zikir, Solo). Kesemuanya adalah doa pengagungan dan permohonan ampunan. Maka bersungguh-sungguhlah!
Awas setan, berta’awudzlah
Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (An-Nahl [16]: 98)
Mengarungi samudera Al-Fatihah
Renungilah keadaan kita pada hari Kiamat ketika membaca ayat per ayat dari Al-Fatihah; dalam suasana yang menakutkan, membutuhkan rasa aman, dalam keadaan haus dan tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diri kita kecuali Sang Penguasa hari Pembalasan. Ya… Dialah Allah.
Konsekuensinya ketika melaksanakan ubudiyah dengan segala bentuk kerendahan diri dan ketundukan serta sikap menahan diri dari berbuat zalim dan durhaka.
Fikih: Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fâtihah.” (Muttafaq ‘Alaih)
Membaca Al-Fâtihah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang yang melakukan shalat termasuk juga makmum, baik di dalam shalat jahriyah (imam membaca Al-Fâtihah dengan suara keras) atau sirriyah (imam membaca Al-Fâtihah dengan pelan) sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Ubadah di depan yang dianggap marfu‘: (Nabi bertanya) “Barangkali kalian membaca di belakang imam?” kami menjawab, “Ya, benar wahai Rasulullah! Nabi menjelaskan, “Janganlah kalian membaca kecuali Al-Fâtihah. Sesungguhnya tiada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud)
Muhammad bin Abi Aisyah menceritakan bahwa seorang sahabat menuturkan, “Rasulullah saw pernah bersabda, ‘Barangkali kalian membaca padahal imam kalian juga membaca?’ Para sahabat menaggapi, ‘Benar, kami juga membaca’, Nabi menimpali, ‘Jangan, kecuali kalian hanya membaca Al-Fâtihah’.” (HR. Ahmad)
Kewajiban membaca Al-Fâtihah menjadi gugur bagi makmum masbuq yang mendapati imam sudah dalam keadaan ruku‘ sebagaimana peristiwa Abi Bakrah ra suatu saat ia sampai kepada Nabi saw sedangkan beliau sudah ruku‘, lalu Abu Bakrah langsung saja melakukan ruku‘ sebelum sampai kepada shaf. Dia melaporkan kejadian ini pada Nabi saw kemudian Beliau bersabda, “Semoga Allah menambah semangatmu (beribadah) tapi jangan kamu ulangi lagi”. (HR. Al-Bukhari)
Bacalah, surat yang paling mudah
Membaca surat setelah bacaan Al-Fâtihah atau bagian dari Al-Qur’an yang dianggapnya mudah di dalam dua rekaat shalat Subuh dan shalat Jum’at, dua rekaat pertama shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’, serta setiap shalat sunnah. Abi Qatadah menuturkan, “Di dalam dua rekaat pertama shalat Zhuhur Rasulullah saw membaca Al-Fâtihah dan dua surat. Rekaat pertama surat yang dibaca lebih panjang. Rekaat kedua lebih pendek. Terkadang Nabi saw memperdengarkan ayat yang dibacanya. Demikian pula di dalam shalat Ashar, beliau membaca Al-Fâtihah dan dua surat. Pada rekaat pertama beliau membaca surat yang panjang. Di dalam shalat Subuh beliau memanjangkan rekaat pertama sedangkan rekaat kedua lebih pendek. (Muttafaq ‘Alaih)
Ketundukan dalam ruku’
سُبْحانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
Tentu kita telah hafal di lu
ar kepala. Sebab ia merupakan bentuk ketundukan dalam bentuk lahiriah jasad.
Fikih: Melakukan ruku‘ seraya membaca takbir sambil mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Memposisikan kepala di hadapan punggung serta meletakkan kedua tangan pada lutut dengan merenggangkan jari-jari tangan.
Wabishah bin Ma‘bad berkata, “Saya pernah melihat Rasulullah saw sedang mendirikan shalat. Ketika ruku‘, beliau meratakan punggungnya sampai-sampai seandainya air dituangkan di atasnya, niscaya airnya akan tetap.” (HR. Ibnu Majah)
I’tidal
Mengangkat tangan seraya bertakbir, dalam rangka berkhidmat kepada Allah, karena Dia di hadapan kita.
سَمِيْعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Maknanya Allah mendengar, menerima dan mengabulkan permintaan hamba-Nya. I’
tidal memiliki rasa tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Apalagi jika disambung dengan pujian kepada Allah:
رَبّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَ مِلْءَ اْلأَرْضِ وَ مِلْءُ مَا شئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ
Tersungkur dalam sujud
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Keadaan paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika dia sedang bersujud (mengerjakan shalat). Oleh karena itu, perbanyaklah doa! (Diriwayatkan oleh Muslim)
Sujud
merupakan klimaks dari bentuk ubudiyah. Renungkanlah hikmahnya! Sujud merupakan tingkat ubidyah paling tinggi, masihkah terbesit di dalam hati untuk berbuat sombong dan congkak?
سُبْحَانَ رَبِّيَ الأعْلَى
Dan cukuplah sujud sebagai bentuk kemuliaan, manaka
la Allah mengharamkan atas neraka untuk melalap anak Adam yang memiliki bekas sujud. Subhanalloh!
Fikih:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَ إِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Saya melihat Nabi saw apabila sujud meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangannya. Ketika bangkit, beliau mengangkat kedua tangan dahulu sebelum kedua lututnya. (HR. Abu Dawud)
Jari-jari tangan dan kaki dihadapkan ke arah kiblat. Tersebut di dalam hadit
s Abu Humaid As-Sa‘idi, “Tatkala Nabi saw bersujud, beliau meletakkan kedua tangannya, tidak membentangkannya dan tidak pula menggenggamnya dan menghadapkan ujung jari-jari kaki beliau ke arah kiblat.” (HR. Al-Bukhari)
Jari-jari dipadukan dan dipanjangkan. Tersebut di dalam hadits riwayat Alqamah bin Watsilah dari ayahnya bahwa Nabi saw ketika bersujud memadukan jari-jarinya.(HR. Ibnu Khuzaimah)
Wail ra meriwayatkan bahwa Nabi saw ketika ruku‘ merenggangkan jari-jarinya sedangkan ketika bersujud, beliau memadukan jari-jarinya. (HR. Al-Hakim)
Di dalam hadits riwayat Abu Humaid disebutkan bahwa Nabi menghadapkan ujung-ujung jari-jarinya ke arah kiblat. (HR. Ibnu Khuzaimah)
Membuka jari-jari kaki sejalan dengan hadits Abu Humaid, “Kemudian merenggangkan kedua bahu dari lambungnya dan membuka jari-jari kaki.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Bersujud dengan meletakkan tujuh anggota badan, yaitu dahi bersama hidung, dua tangan, dua lutut, dan dua bagian dalam jari-jari kaki sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas.
Di antara dua sujud
Mengangkat kepala dari sujud, merenung akan keadaan di antara dua sujud ini. Diapit oleh dua sujud menunjukkan betapa agung kedudukan ini. Rasulullah memanjangkannya karena memang terdapat rasa special bagi hati. Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Bara’ bahwa Rasulullah ruku’nya, sujud, duduk di antara dua sujud adalah sama panjangnya. (Hadits Shahih)
Rasulullah juga memperbanyak istighfar:
رَبِّ اغْفِرْلِيْ رَبِّ اغْفِرْلِيْ
Fikih: Di dalam hadits riwayat Hudzaifah yang dianggapnya marfu‘ me
nyebutkan, “Nabi duduk di antara dua sujud sebagaimana ketika hendak melakukan sujud sambil membaca, ‘Rabbighfirlî, Rabbighfirlî’.” (HR. Abu Dawud)
Tasyahud dan makna tahiyat
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nabi mengajarkan tasyahud kepada kami sebagaimana beliau mengajarkan surat dari Al-Qur’an.”
Rasakanlah kedudukan dan kemuliaan tasyahud ini. Sebuah bentuk penghormatan, pujian kepada Allah.
Fikih: Bacaan tasyahud memiliki banyak periwayatan, namun Dr. Sa’d bin Wahf Al-Qahthani menganggap riwayat yang paling shahih adalah yang diriwayat oleh Muttafaqun ‘Alaih:
التَّحِيَاتُ لِلّهِ وَالصّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ (وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ) وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ
Shalawat untuk Nabi
Berikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, karena hal itu merupakan sarana paling agung atas terkabulnya doa yang kita panjatka
n.
Fikih: pun, di dalam bacaan shalawat juga terdapat berbagai riwayat dengan berbagai redaksi yang berbeda-beda. Maka dibolehkan untuk membaca salah satunya asal terdapat dalam riwayat yang shahih.
Jari besi, untuk setan
Jangan lupa mengangkat jari telunjuk ketika bertasyahud. Rasakanlah bahwa engkau akan segera menyudahi shalatmu dengan mencekik setan yang menggodamu dan meremukkan ruas-ruas tulangnya dengan “Telunjuk tauhid”. Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi bersabda, “Sungguh hal itu (memberi isyarat dengan jari telunjuk) lebih keras bagi setan daripada besi.” (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
Fikih: Berisyarat dengan telunjuk ketika menyebut nama Allah swt, pada saat membaca doa dengan menghadapkan ke arah kiblat termasuk sunnah. Menggerakkan ke arah kiblat tatkala menyebut asma Allah ketika berdoa. Tidak menggerak-gerakkannya di selain dzikir dan doa, tapi membiarkannya pada posisi tegak. Syaikh bin Baz berkata, “Pendapat yang tepat ialah menggerak-gerakkan ketika membaca doa sedangkan selainnya tidak perlu menggerak-gerakkan, cukup dengan berisyarat saja.”
Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr ra yang menunjukkan menggerak-gerakan telunjuk ketika berisyarat, “Kemudian Nabi saw duduk dan melipat kaki kirinya, meletakkan telapak tangan kiri di atas paha dan lutut kiri, menjadikan batasan siku kanan berada di atas paha kanan lalu menggenggam dua jari dan membentuk lingkaran cincin (dengan dua jari lainnya) kemudian mengangkat satu jari. Saya melihat Nabi saw menggerak-gerakkannya ketika membaca doa.” (HR. An-Nasa’i)
Berdoalah sebelum salam…
Mohonlah empat hal sebelum mengakhiri shalat dengan salam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah :
أَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ وَ مِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
Salam “Kesedihan”
Setelah usai, maka bacaan yang diajarkan Rasulullah adalah salam. Tanamkan rasa sedih di dalam hatimu karena engkau pergi dari hadapan Allah menuju kesibukan dunia. Padahal ki
ta baru saja merasakan kelezatan—walau sejenak—shalat yang kita laksanakan.
Kesungguhan… Perlu…!
Ehm…, tak mudah memang menemukan kelezatan shalat, sehingga shalat kita tak hanya sekadar “rubuh gedang”. Perlu landasan ilmu yang benar, kesungguhan, dan yang paling utama adalah amal nyata!
Ya Allah… istiqomahkanlah kami di jalan-Mu.
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

No comments: